Pages

Senin, 29 September 2025

Klinik Dokter Roy

Klinik Dokter Roy

Hari itu Sabtu, 11 Desember 2009—sehari setelah Jumat, sehari sebelum Minggu. Cerita ini awalnya tentang Jery dan masa depannya. Namun, entah mengapa, Farhan menceritakan kisah aneh tentang Klinik Dokter Roy.

---
Klinik Dokter Roy. Dari luar, bangunan yang disebut klinik itu tidak layak menyandang namanya. Cat dindingnya mengelupas, jendelanya berdebu, dan pagar setengah meter yang mengelilinginya tampak rapuh dimakan waktu. Tepat di depan klinik berdiri sebatang pohon kayu tua, besar dan berlumut. Di bawahnya, sesajen masih mengepulkan aroma menyan yang menusuk hidung. Lebih menyeramkan lagi, di teras klinik terlihat ceceran darah ayam yang mulai menghitam.

Di ruang tunggu, sebuah jam dinding kuno tergantung, besar dan berat, jarumnya menunjuk tepat pada angka 12 siang. Saat itu loncengnya berbunyi:

Toeng... Toeng... Toeng...

Sembilan kali dentang menggema, tapi yang lebih aneh, setiap kali dentang terdengar, dari dalam jam itu keluar seekor burung nuri. Namun kepala burung itu tampak terpenggal, seolah diputus paksa oleh seseorang.

Seorang pasien yang datang berobat bergidik ngeri. Karena sudah terlalu lama menunggu, akhirnya ia memberanikan diri masuk ke dalam.

---

Di ruang pertama, lampu menggantung redup. Bohlamnya hidup-mati, hidup-mati berkali-kali, membuat bayangan di dinding bergerak seperti menari. Di atas pintu tertulis papan nama:

“Ruang Operasi.”

Hatinya bertanya-tanya, kenapa ruang operasi lampunya seperti ini? Namun ia mencoba tenang dan melangkah pergi ke ruangan berikutnya.

---

Di ujung gang, ia menemukan pintu dengan papan nama “Ruang Rawat Inap.” Saat masuk, tiba-tiba jendela terbuka lebar. Angin malam menyibakkan tirai, dan di luar terlihat pemandangan yang membuat darahnya beku:

Sebuah makam, tepat di belakang klinik, dengan nisan bertuliskan:

“Yang Tercinta, Toni.”

Jantungnya berdegup kencang. Namun rasa takut bercampur penasaran mendorongnya melangkah lebih jauh.

---

Di ujung lorong, berdiri sebuah pintu besi dengan tulisan “Laboratorium.” Nalurinya ingin tahu apa yang ada di dalam. Perlahan ia dorong pintunya...

Graaak!

Begitu pintu terbuka, asap tebal pekat menyembur keluar, menyelimuti seluruh lorong. Pasien itu panik, batuk, lalu berlari pontang-panting meninggalkan ruangan. Nafasnya memburu, pikirannya kacau.

Dan justru kepanikan itulah... yang akan menyeretnya pada malapetaka berikutnya.

---
Asap tebal perlahan lenyap, menyisakan bau menyengat seperti obat-obatan basi bercampur dengan tanah basah. Sang pasien terhuyung, tubuhnya masih gemetar, tapi hatinya memaksa untuk bertahan. Anehnya, semakin dalam ia masuk ke klinik itu, rasa takutnya mulai berubah... menjadi rasa tenang yang aneh.

Lorong panjang di depannya sepi. Lampu gantung tidak lagi berkedip, tapi menyala redup kekuningan, seolah membimbing langkahnya. Setiap derap kakinya menggema, menimbulkan bunyi tok... tok... tok... yang bercampur dengan keheningan.

Ia tiba di sebuah pintu kayu dengan ukiran sederhana. Tidak ada papan nama. Hanya sebuah simbol aneh menyerupai mata yang terpejam. Saat ia menyentuh gagangnya, pintu itu terbuka sendiri dengan lembut, tanpa suara berderit.

---

Di dalam ruangan, suasananya berbeda. Tidak ada darah, tidak ada bau menyan. Hanya ada sebuah meja kayu tua dengan buku catatan tebal di atasnya. Jendela terbuka sedikit, dan angin sore masuk, membuat tirai bergoyang pelan.

Pasien itu menarik kursi dan duduk. Perlahan, ia membuka buku catatan itu. Halaman pertamanya bertuliskan rapi dengan tinta hitam:

“Untuk mereka yang mencari jawaban, bukan kesembuhan.”

Semakin dibaca, semakin ia merasa buku itu seperti berbicara langsung kepadanya. Isinya bukan resep obat atau catatan medis, melainkan tulisan-tulisan penuh teka-teki: tentang kehidupan, masa depan, dan rahasia yang belum terungkap.

---

Jam besar di ruang tunggu berdentang sekali lagi, tapi kali ini tidak ada suara burung nuri. Yang terdengar hanya suara lembut seperti bisikan:

"Tenanglah... jawabannya ada di dalam dirimu."

Seketika, rasa panik yang tadi mencekik lenyap. Ia merasa damai, meski belum memahami apa arti semua ini.

Dan di balik semua ketenangan itu, misteri klinik ini semakin dalam—seolah menunggu untuk membuka lembaran rahasia berikutnya.

To be continued...